Rabu, 08 April 2009

Prinsip sifat mengikatnya suatu Perjanjian/Kontrak dalam hal terjadi Perubahan Keadaan menurut Klausula Rebus sic stantibus (Hukum Kanoniek), Klausula

Sumber : Jusuf Patrick

Tidaklah afdol jika kita membahas Hukum Kontrak apabila tidak dimulai dari pembahasan mengenai asas kebebasan berkontrak ( contracs vrijheid atau party autonomie ); yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan.

Dan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt yang jika kita analisa terdiri dari 3 asas utama yaitu Asas konsensulisme ( terjadinya perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak), Asas kekuatan mengikat dari perjanjian ( perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ) dan Asas kebebasan berkontrak ( para pihak bebas menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian.

Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat.

Dalam artikel ini penulis akan mengulas mengenai sifat mengikat suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi suatu perubahan keadaan. Suatu perubahan keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam kesulitan untuk memenuhi prestasi yang diwajibkan dalam perjanjian yang dibuatnya, dan hal tersebut bukanlah suatu keadaan memaksa ( overmacht/force majeure ).

Agar lebih memudahkan pembahasan selanjutnya, maka terlebih dahulu penulis memberikan sedikit gambaran perbedaan antara Keadaan Memaksa ( Force majeure ) dan Perubahan Keadaan.

Pada Keadaan Memaksa keadaan yang berubah itu membuat tidak mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada Perubahan Keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita kerugian.

Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada Keadaan Memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada Perubahan Keadaan, pemenuhan prestasi dari debitur adalah sangat berat dilaksanakan.
Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi; sedangkan dalam perubahan keadaan titik beratnya terletak pada posisi kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.

Semenjak abad petengahan pihak dalam perjanjian tidak mau dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang disebut sebagai klausula Rebus sic stantibus.
Klausula ini menyatakan bahwa perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur.

Jadi dalam klausula ini tidak dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan.

Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan keadaan, sehingga dalam pasal 1245 KUHPdt sebagai suatu alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond) bagi Debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya/prestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan.

Namun sejak tahun 1915 keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuere / overmacht untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah mempergunakan pasal 1338 ayat 3 KUHPdt sebagai pedoman.

Hal ini dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara obyektif merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu kerugian.

Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya berbunyi : Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separo dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu.
Jadi menurut Yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan ( kepatutan) adalah dibagi dua.

Selanjutnya perkembangan dunia komersial pada abad 21 ini membawa perubahan pula terhadap aturan-aturan mnegnai sifat mengikatnya suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi perubahan keadaan telah diatur secara tersendiri diluar ketentuan tentang Keadaan Memaksa (Force Majeure) sebagaimana terlihat dalam Prinsip-prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.

Dalam Bab Pelaksanaan Kontrak pasal 6.2.1 Unidroit diatur bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak ( becomes more onerous for one of the parties), pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya (that party is nevertheless bound to perform its obligations) dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan.
Ketentuan pasal ini adalah untuk menghormati ketentuan pasal 1.3 mengenai prinsip umum sifat mengikat suatu kontrak ( A contract validity entered into is binding upon the parties…), namun ketentuan sifat mengikatnya suatu kontrak dalam UNIDROIT juga tidak bersifat mutlak, yaitu apabila ada perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan dan merupakan prinsip-prinsip yang diatur dalam Klausula Hardship ( Klausula Kesulitan).

Definisi Kesulitan (Hardship) adalah peristiwa yang secara fundamental telah mengubah kesimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu :

  • peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;


  • peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;


  • peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;


  • resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.



Menurut prinsip hukum modern adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak ( lihat Pasal 6.2.1 UNIDROIT ). Oleh karena itu adanya kesulitan (hardship) tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.
Catatan penulis : kategori suatu perubahan disebut perubahan biasa atau sebagai suatu perubahan fundamental; harus ditafsirkan secara kasus per kasus, oleh karena UNIDROIT sendiri hanya mengatur indikator suatu perubahan yang bersifat fundamental yaitu adanya kenaikan ongkos pelaksanaan kontrak dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak.

Akibat hukum apabila terjadi Kesulitan (Hardship), maka sesuai pasal 6.2.3 :

  1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus segera diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya.


  2. Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak.


  3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke Pengadilan.


  4. Apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan ( hardship) maka pengadilan dapat memutuskan untuk :

    • - mengakhiri kontrak pada tanggal dan atas syarat-syarat yang ditetapkan secara
      pasti ( terminate a contract at a date and on terms to be fixed);

    • - mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.


Kesimpulan :
Sesuai perkembangan jaman maka isi formil dari perjanjian sering harus menyisih demi kepantasan dan kepatutan.
Perubahan Keadaan tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian, kecuali terjadi perubahan itu bersifat fundamental dan oleh karena itu telah masuk ke dalam ranah Keadaan Memaksa ( Force Majeure).

Saran :
Para notaris harus memulai memikirkan perbedaan-perbedaan perubahan keadaan dalam pelaksanaan suatu perjanjian; sudah waktunya untuk menuangkan klausula Kesulitan ( Hardship Clause ) disamping klausula Force Majeure dalam setiap akta mengenai perbuatan hukum kontrak yang dibuatnya ( maksudnya suatu perjanjian yang pelaksanaannya mempunyai jangka waktu tertentu/ perjanjian berjangka waktu, misalnya : Perjanjian Kerja Sama,
Perjanjian Pemborongan, Perjanjian Pembangunan, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian/ Kontrak Suplai, dll ).
Contoh kasus yang sederhana misalnya perlu dibedakan perubahan harga oleh karena terjadinya fluktuasi kurs antara mata uang Rupiah dengan mata uang asing, dalam kasus ini bukan termasuk klausula Keadaan Memaksa ( Force Majeure) namun masih dalam taraf Klausula Hardship, sehingga Debitur tetap wajib melaksanakan kewajibannya. Keadaan seperti ini dapat kita tegaskan dalam akta mengenai tolok ukur / kriteria kapan fluktuasi kurs dapat
dikategorikan sebagai Keadaan Kesulitan atau kapan sebagai Keadaan Memaksa, misalnya dengan menentukan para pihak wajib menyesuaikan harga apabila fluktuasi kurs telah mencapai lebih dari 50 % dari kurs semula sejak di tanda tanganinya akta, dengan kewajiban masing-masing pihak menanggung sebagian sama besarnya terhadap selisih kurs tersebut, ....dst dst.
Sudah waktunya untuk memperhatikan unsur kepantasan dan kepatutan dalam Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris; yang oleh karena itu Pihak Notaris sebagai pihak yang mengkonstatir kehendak para pihak ke dalam akta sudah selayaknya memberikan masukan dan pertimbangan kepada para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian dalam hal terjadi perubahan keadaan sebagaimana diuraikan di atas.

Senin, 30 Maret 2009

Kekuatan pasal 3 BW


Inti Pasal 3 BW adalah pengejawantahan dari hak dasar manusia ( hak asasi
manusia ), walaupun kondisi Hak dasar manusia tidak mungkin hukuman
pidana apapun dapat menghilangkan hak-hak keperdataan (hak-hak kewargaan)
seseorang.
Bagaimana apabila perbuatan hukum tertentu yang berhubungan dengan
  harta terpidana khususnya terhadap terpidana korupsi, apakah diatur 
  pembatasan? Dan bagaimana asas praduga tak bersalah kepada notaris
  pembuat akta pengalihan, yang nota bene, tidak dengan sengaja, karena
  pembohongan asal usul aset dituduh membuatkan akta bagi para
  tersangka koruptor dalam mengalihkan harta kekayaannya ?apakah
  kelak dapat dikenakan tuntutan pidana?

Analisa :

1. hak asasi tersangka TP-Korupsi atau TP-Pencucian uang di mata hukum
dalam melakukan tindakan hukum yang harus menggunakan jasa notaris ; 
  atau
apabila kelak terbukti secara sah dan meyakinkan hingga muncul putusan
2. bahwa si-tersangka resmi menjadi terdakwa dan terhukum tindak pidana 
  korupsi atau pencucian uang....

 Bahwa untuk menghindari atau melepaskan tuduhan bahwa Notaris turut serta 
membantu melakukan pengalihan asset, ke Fatwa ke Mahkamah Agung
agar Notaris demikian tidak dapat dituntut pidana maupun perdata dalam 
bentuk apapun, sehubungan dengan munculnya putusan Pidana resmi bagi 
si-terdakwa selaku terhukum TP-Korupsi atau TP-Pencucian uang.

Sumber Rujukan :RGS Mitra



Sabtu, 28 Maret 2009

Mengenal dan menggunakan Jasa Pengacara

Pengertian Pengacara dalam Bahasa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai
istilah seperti pengacara, advokat atau konsultan hukum, penasehat hukum, pembela
Lalu dengan berlakunya Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat,

ADVOKAT yang memiliki pengertian :
orang yang berprofesi memberikan jasa hukum berupa konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa. mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien,baik didalam maupun diluar pengadilan( pasal 1 UU no.18 tahun 2003)

Dalam memilih dan menggunakan jasa Advokat.Sebaiknya masyarakat tetap jeli &
teliti memilih advokat sesuai kebutuhannya, terutama pemilihan ini didasarkan oleh kualitas
serta nama baik Advokat itu sendiri.
Menurut sumber-sumber, Advokat Wajib Tergabung Pada Organisasi Profesi
Ketika masyarakat akan memilih Advokat sebaiknya ia harus memeriksa
terlebih dahulu apakah Advokat ini tergabung pada suatu organisasi profesi
Advokat resmi yang diakui oleh Undang-Undang. Adapun organisasi profesi yang
diakui oleh Undang-Undang Advokat antara lain1 :
1 Pasal 32 ayat 3 Undang-Undang Advokat
1. Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN)
2. Asosiasi Advokat Indonesia (AAI)
3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI)
4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI)
5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI)
6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)
7. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan
8. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Menurut Undang-Undang ini seorang Advokat wajib menjadi anggota
organisasi Advokat [salah satu 8 organisasi diatas],

Pentingnya masyarakat menanyakan keanggotaan organisasi profesi mana bagi
seorang Advokat yang akan dipilih, hal ini bermanfaat untuk :
1. apabila terjadi suatu pelanggaran kode-etik antara Advokat dengan klien,
maka masyarakat dapat mengadukan pelanggaran dimaksud melalui Dewan
Kehormatan Organisasi Profesi
2. melindungi kepentingan masyarakat selaku “konsumen” pengguna jasa
advokat berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Tips Singkat Bagaimana Memilih Advokat yaitu :
1. Aktifitas yang pertama harus dilakukan adalah melakukan obeservasi atau penjajakan.
2/ Atau mengunjungi situ PERADI [Persatuan Advokat
Indonesia] sebagai wadah tunggal Advokat melalui http://www.peradi.or.id atau
Carilah website atau homepage yang memuat profile aktivitas suatu Kantor
Advokat di internet, seperti
http://www.advokatku.web.id ;
http://www.mnr-advokat.web.id
3.periksalah apakah nama personil advokat dimaksud tergabung pada
salah satu organisasi Profesi atau-pun masuk dalam data-base wadah tunggal
Profesi Advokat yang dalam hal ini PERADI.
4. Anda dapat juga menghubungi 8 organisasi profesi Advokat terdekat di wilayah anda.
5.lakukan pembicaraan langsung dan semaksimal kepada beberapa Pengacara
yang menurut kita pengacara yang sesuai dengan kebutuhan kita sesuai dari hasil obervasi.
6. Rancanglah pembicaraan dengan cara mengajukan pertanyaan, sesuai
permasalahan yang kita hadapi. Usahakanlah selalu untuk memiliki Pengacara
yang tahu betul mengenai seluk-beluk bisnis/usaha kita, memiliki waktu cukup
untuk melayani,
7. Verifikasi pula apakah Pengacara yang kita pilih tidak memiliki konflik kepentingan.

yakinlah Pengacara yang kita pilih secara moral etika harus dapat diminta untuk
mewakili Kepentingan Hukum Kita secara bebas (mandiri), karena
Etika Profesi Advokat mengharuskan :
' apabila seorang Pengacara mewakili dua pihak/klien yang memiliki kepentingan
yang saling bertolak belakang atau berseberangan secara horisontal, maka dia --
harus memilih salah satu dari kliennya atau melepaskan kedua kliennya, dan ---
tidak dibenarkan Pengacara ini mewakili kepentingan dari kedua pihak yang --
kepentingannya, telah saling bersinggungan dan bertolak belakang. "

menggunakan jasa advokat tentu tidak lupa perlu mengetahui hal-hal berikut ini
Soal Honor Advokat (Pembayaran)
Pada hakekatnya pada saat anda berkonsultasi [walau baru pertamakali]
sesungguhnya anda sudah menggunakan jasa advokat, minimum dalam bentuk
konsultasi.(gratis/bayar)Tanyakan pula berapa biaya yang harus dikeluarkan
pada saat hanya berkonsultasi dengan Advokat yang akan anda pilih.

Ada 4 (empat) metode pembayaran dalam memanfaatkan jasa Pengacara, antara lain :
1. Pembayaran Perjam (Hourly Rate), cara pembayaran ini biasanya dilakukan
oleh Pengacara untuk jasa dalam lingkup bisnis kecil. Penting diketahui bahwa
setiap aktifitas seorang Pengacara dalam mewakili kepentingan klien termasuk
dalam jasa Telepon untuk konsultasi, dan hal-hal lain seperti surat menyurat
untuk kepentingan legal advise, mempersiapkan dan menyusun suatu
rancangan kontrak juga termasuk dalam perhitungan "jam" jasa yang harus
dibayarkan. Jika metode ini yang digunakan, maka saat kita mengadakan
pembicaraan dengan calon Pengacara yang kita pilih tanyakan juga waktu
minimum pemakaian jasa. Kebanyakan Pengacara menggunakan waktu
minimum untuk pemakaian jasanya adalah 15 (lima belas) menit. Dalam suatu
contoh, apabila seorang klien menelpon selama tujuh menit maka akan
dibebankan biaya atas pemakaian jasa 15 (lima belas) menit.

2. Pembayaran Ditetapkan (Fixed Rate), Pengacara yang akan menangani suatu
tugas atau proyek biasanya menentukan sistem pembayaran tetap (fixed rate).
Namun sistem ini tidak dipakai pelayanan jasa dalam lingkup litigasi (sengketa
yang penyelesaiannya melalui proses di pengadilan). Sistem ini biasanya
diterapkan pada pemanfaatan jasa oleh bisnis skala kecil.

3. Pembayaran Berdasarkan Porsi (Contingent Fees) Pada sistem ini Pengacara
menerima bagian dari hasil yang diperoleh dari klien yang dimenangkan
dalam suatu sengketa hukum
Apakah Pengacara disini hanya akan menerima
bagian (Fee) jika ia berhasil memenangkan perkara tersebut. atau jika tidak, maka
dia hanya akan menerima penggantian untuk biaya-biaya operasional yang
telah dikeluarkannya. Pembayaran berdasarkan porsi seperti ini tidak
dilakukan dalam masalah-masalah bisnis rutin. Sistem seperti ini umumnya
dipergunakan dalam hal Pengacara bekerja dan mewakili klien untuk kasus
sengketa melalui proses pengadilan, mediasi atau arbitrase seperti dalam suatu
peristiwa dimana terjadinya tuntutan (gugatan) atas kerugian akibat kelalaian
atau kesalahan pihak lain yang klien alami.

4. Pembayaran Berkala (Retainer). Jika seorang Pengacara menggunakan sistem
pembayaran berkala, maka Masyarakat sebagai klien membayar secara
bulanan atau bisa juga dirancang untuk pembayaran secara tahunan.
Sebelumnya berbagai jasa Pengacara yang akan diterima klien harus telah
didefinisikan (dirinci) untuk disepakati bersama. Sebenarnya Sistem ini akan
sangat menguntungkan jika klien tahu bahwa klien ini akan sering
membutuhkan Pengacara dalam suatu periode tertentu.

Komunikasi
Setelah kita memilih Pengacara dan menentukan cara pembayarannya,
yakinkan bahwa kita harus menghindari masalah yang mungkin muncul di
kemudian hari.
dan jangan lupa Untuk senantiasa meminta salinan (copy) dari
dokumen penting sehingga kita dapat secara langsung menilai dan
mengarahkannya dengan tetap memperhatikan nasihat dan pertimbangan hukum
dari Pengacara ini, terakhir Pastikan Pengacara manda enyerahkan semua salinan
dari berbagai dokumen surat-menyurat dan dokumen akhir yang dibuat dalam
kapasitasnya sebagai Pengacara kita. Selamat menggunakan jasa pengacara

Dari :berbagai sumber